• Sabtu, 06 Oktober 2012

      Tujuan Syara’ ( Bag: 5 selesai )



      Maqashid Syari’ah (Tujuan Syara’)

      Melalui penelitian yang mendalam akan diketahui bahwa semua syariat agama mengandung maksud, tujuan dan hikmah bagi kepentingan hamba. Semua perintah dan larangan dalam syariat agama mengandung kemaslahatan, baik yang mudah diketahui maupun yang belum diketahui karena akal manusia tidak mampu memahaminya.

      Tuhan tidak mensyariatkan hukum-hukum secara kebetulan dan tanpa hikmah. Syara’ bermaksud dengan hukum-hukum itu untuk mewujudkan maksud-maksud umum. Kita tidak dapat memahami hakikat nash terkecuali jika kita mengetahui apa yang dimaksud oleh syara’ dalam menetapkan nash-nash syariat itu. Harus diingat bahwa petunjuk-petunjuk lafazh dan ibarat-ibaratnya kepada makna yang kadang-kadang mempunyai lebih dari satu penafsiran makna. Untuk mentarjih penafsiran makna yang lebih tepat maka perlu memahami maksud syara’ (maqashid syari’ah).

      Segala hukum muamalah, akal dapat mengetahui maksud-maksud syara’ dalam menetapkan hukum yaitu berdasarkan mendatangkan kemaslahatan bagi manusia dan menolak masfadat terhadap mereka. Jadi segala yang membawa manfaat-maslahat adalah mubah dan segala yang membawa mudharat-masfadat adalah haram.

      Ibnul Qayyim berkata :

      “Dasar syariat ialah kemaslahatan hamba di dunia dan di akhirat. Syariat semuanya adil, semuanya rahmat dan semuanya mengandung hikmah. Tiap masalah yang keluar dari adil kepada curang, dari rahmat kepada bala’, dari maslahat kepada masfadat, dari hukmah kepada sia-sia maka bukanlah syariat. Syariat itu adalah keadilan Allah diantara hamba-Nya, rahmat Allah diantara makhluk-nya dan bayangan Allah dibumi-Nya dan himah-Nya yang menunjukkan kepada-Nya dan kebenaran Rasul-Nya”.

      Maksud-maksud syara’ yang umum :

      1. Memelihara segala yang dharuri (esensial dan fital) bagi manusia dalam kehidupan mereka, yaitu :

      a. Memelihara Agama (dien).

      b. Memelihara Nyawa (nafs).

      c. Memelihara Akal (aqlu).

      d. Memelihara Nasab-keturunan (nasl).

      e. Memelihara Harta (mal).

      Apabila yang dharuri ini tidak terpelihara maka kacaulah tatanan kehidupan, timbullah kekacauan dan kerusakan yang merata.

      2. Menyempurnakan segala yang dihajati manusia.

      Yaitu segala yang diperlukan manusia untuk memudahkan dan untuk dapat menanggung kesukaran-kesukaran pembebanan (taklif) dan beban-beban hidup. Tetapi bila urusan itu tidak diperoleh, tidaklah rusak tatanan hidup dan tidak merata kekacauan, hanya mengalami kesempitan dan kesukaran saja.

      Segala yang dihajati dalam pengertian ini meliputi segala yang diperlukan oleh rasa kemanusiaan, kesusilaan, tata sosial kehidupan, kemudahan-kenyamanan hidup. Apabila yang demikian ini tidak diperoleh maka tiada cedera tatanan kehidupan, hanya saja dipandang tidak baik oleh akal yang sehat dan fitrah yang sejahtera.

      Tingkatan Maksud Syara’

      1. Tingkat Dharuriyah.

      Yaitu tingkat yang harus ada, tidak boleh tidak ada. Apabila tidak difardhukan pokok-pokok ibadat maka manusia akan lupa dan berpaling dari Tuhan dan agama. Apabila tidak disyariatkan kita memrangi orang-orang yang merusak agama dan memaksa kembali orang yang murtad, tentu rusaklah urusan agama dan hilanglah pemeliharaannya.

      Apabila tidak dihalalkan benda-benda yang baik untuk dimakan, diminum dan dipakai dan apabila tidak disyariatkan nikah dan pokok-pokok muamalah serta tidak difardhukan hukum-hukum jinayah maka akan hilang maslahat tertentu untuk memelihara jiwa, akal, keturunan dan kehormatan.

      Apabila tidak disyariatkan pokok-pokok hukum yang berkenaan dengan hak milik dan penukaran manfaat serta tidak didakan hukum membayar barang yang kita rusakkan dan tidak disyariatkan hukuman untuk pencurian, perampokan tentu rusak maslahat harta.

      2. Tingkat Hajiyah

      Yaitu segala yang kita hajati untuk memperoleh keluasan hidup dan menolak kesempitan.

      Umapamanya untuk memelihara agama kita dibolehkan mengqashar shalat ketika dalam safar atau menjama’ ketika sedang ada udzur yang syar’i.

      3. Tingkat Tahsiniah.

      Yaitu tingkat yang paling rendah, dengan hilangnya tingkat ini tidak menghilangkan tingkat asli serta tidak menimbulkan kepicikan dan kesukaran dalam hidup. Tingkat ini masuk bagian kesempurnaan untuk memelihara akhlak-akhlak tinggi dan adat-adat yang baik.







      Masalah Ushul (pokok) – Furu’ (cabang)

      A. Masalah Ushul (pokok) 

      Masalah Ushul (pokok) adalah masalah yang menyangkut I’tikad (keyakinan) dalam urusan : akidah, tauhid dan rukun iman yang enam. Dalil-dalil dari Al-Qur’an maupun hadits yang menerangkan hal ini semuanya adalah muhkam (tidak ada kemungkinan penafsiran lain) dan sharih (jelas petunjuk lafaznya) dan Qath’i (pasti).

      Seorang muslim dalam masalah ushul ini harus benar I’tikadnya (keyakinannya). Salah dalam I’tikad masalah ushul bisa menyebabkan seseorang menjadi kafir keluar dari Islam. Jadi dalam masalah ushul yang ada adalah iman atau kafir.

      Contoh-contoh masalah ushul :

      a. Tidak ada tuhan selain Allah.
      b. Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan.
      c. Allah satu satunya tempat bergantung.
      d. Tauhid Rububiyah (meyakini Allah satu satunya pencipta)
      e. Tauhid Uluhiyah (meyakini Allah satu satunya yang disembah dan diibadahi)
      f. Tauhid Mulkiyah (meyakini Allah satu satunya yang mengatur, memelihara, memberi rejeki seluruh makhluk-Nya).
      g. Mengimani kebenaran dan kesucian Al-Qur’an.
      h. Mengimani kebenaran Nabi Muhammad sebagai Rasul yang maksum.
      i. Mengimani Malaikat-malaikat Allah
      j. Mengimani adanya akhirat (alam kubur, mashar, shirot, surga-neraka)
      k. Mengimani adanya takdir yang baik dan buruk.
      l. Dan lain-lain.

      Masalah ushul yaitu akidah ibarat akar yang merupakan dasar bagi sebuah pohon, I’tikad-tauhid merupakan satu batang lurus yang tidak bercabang-cabang yang merupakan penopang.

      Jadi tidak boleh ada variasi, perbedaan pendapat dan ijtihad dalam masalah ushul ini. Bila ada yang berani berbeda pendapat, mengotak-atik masalah ushul ini maka harus ditentang dan tidak ada toleransi dalam hal ini. Itu sebabnya para ulama sangat keras dan mencelah para pelaku bid’ah akidah seperti kaum Khawarij, Syiah Ghulat, Murjiah, Qadariyah, Jabariyah, Mujasimah, Musyabbihah, Mu’atillah (baca kembali Ilmu Kalam).

      Kelompok sempalan dalam masalah Ushul (akidah) inilah yang dimaksud kelompok yang binasa oleh hadits Nabi :

      “Umatku akan terpecah-belah menjadi 73 golongan, diantara golongan-golongan itu yang selamat hanya satu golongan saja, sedangkan lainnya adalah binasa. Para sahabat bertanya : ‘Siapakah golongan yang selamat itu ?’ Nabi menjawab : ‘golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah’, para sahabat bertanya lagi, ‘Apakah golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu ?’ Nabi menjawab : ‘Yaitu yang mengikuti apa-apa yang sekarang ini dipraktekkan (manhaj) saya dan para sahabatku’ “

      B. Masalah Furu’ (cabang) 

      Masalah Furu’ (cabang) adalah semua hal diluar masalah ushul, seperti rincian praktek tata cara ibadah, muamalah, urusan duniawi, dsb. Begitu luasnya cakupan masalah furu’ ini yang berhubungan dan menyentuh hampir seluruh aktivitas kehidupan seorang muslim. Dalam masalah furu’iyah ini tidak semua dalil-dalil hukumnya muhkam dan sharih, bahkan banyak yang masih mujmal, masih ‘am (umum), masih mutlaq tanpa penjelasan (bayan), masih musytarak (mengandung lebih dari satu arti), petunjuk lafazh dan cakupan lafazhnya tidak sharih (tidak jelas), memungkinkan timbul multi penafsiran dan sebagainya.

      maka dalam masalah furu’iyah ini sering terjadi ijtihad dalam meng istinabtkan hukumnya. Dari sinilah sering terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama dan muijtahid. Jadi dalam masalah furu’ yang ijtihadi ini hendaknya setiap muslim bersifat saling ber toleransi yaitu mengikuti mana yang dianggap paling baik diantara pendapat-pendapat yang ada, tidak memaksa orang lain mengikuti pendapatnya dan membiarkan (tidak mencelah) orang lain yang tidak sependapat. Dalam masalah furu’ yang ijtihadi ini yang ada adalah benar dan salah. Bila benar dapat dua pahala, bila salah dapat satu pahala.


      Contoh-contoh masalah Furu’

      a. Detail tata cara sholat
      b. Fiqih Zakat
      c. Fiqih Puasa
      d. Fiqih Haji
      e. Fiqih Jual-Beli
      f. Fiqih Sewa-Menyewa
      g. Fiqih muamalah
      h. Urusan duniawiyah
      i. Dan lain-lain.

      Masalah furu’ itu ibarat ranting, dahan dan cabang dalam sebuah pohon, yang tentunya tidak harus satu (sebagaimana batang pohon / akidah) melainkan ada banyak ragam cabang. Jadi dalam masalah furu’ boleh ada ijtihad, boleh ada variasi, dan boleh ada perbedaan pendapat.







       Dalil Qath’i (pasti) – Dzani (dugaan)

      A. Dalil Qath’i (pasti) 

      Dalil disebut Qath’i (pasti) apabila memenuhi dua persyaratan :

      1. Qath’i wurudnya (sumbernya) yaitu : Al-Qur’an dan Hadits Mutawatir

      2. Qath’i dhalalah-nya (petunjuk lafazhnya) yaitu : muhkam (tidak ada kemungkinan multi penafsiran) dan sharih (jelas).

      Bila suatu dalil dari Ayat Al-Qur’an dan atau Hadits telah memenuhi semua syarat dalil Qath’i diatas maka menjadidalil Qath’i yang sempurna, maka hukumnya harus diterima bulat-bulat, tanpa reserve. Tidak boleh ada ijtihadi lagi dan tidak boleh diotak-atik, tidak boleh ditambah-dikurangi.

      Kebanyakan masalah Ushul dalilnya adalah qath’i, sedangkan kebanyakan masalah furu’ dalilnya tidak qath’i. Tetapi ada juga masalah furu’ yang dalilnya qoth’i sehingga semua ulama menyepakatinya dan tidak ada perbedaan pendapat dalam hal tersebut, contohnya :

      a. Hukum haram bagi daging babi, bangkai, darah yang mengalir, khamr (arak) dan riba.

      b. Hukum rajam bagi pezina mukhson (sudah pernah menikah), dera 100 kali bagi pezina ghoiru mukhson (belum pernah menikah).
      c. Hukum Qisash (balas bunuh) bagi pembunuhan yang disengaja.
      d. Hukum potong tangan bagi pencuri.
      e. Hukum dera 80 kali bagi orang yang mendakwakan tuduhan dusta.
      f. Hukum potong tangan, kaki dan disalip bagi pelaku kerusuhan dan tindakan anarkis. (perampok, penjarah, pelaku huru-hara, pemberontak, dsb)

      B. Dalil Dzani (dugaan) 

      Dalil dzani adalah dalil yang tidak memenuhi syarat dalil qath’i, yaitu :

      1. Dzani wurudnya (sumbernya) yaitu : Hadits yang tidak mencapai derajad mutawatir.
      2. Dzani Dhalalahnya (petunjuk lafazhnya) yaitu : masih ada kemungkinan multi penafsiran dan tidak sharih (tidak jelas) petunjuk dan cakupan lafazhnya.

      Kebanyakan masalah furu’ yang ijtihadi dalilnya adalah Dzani, seperti hadis ahad, atsar-fatwa sahabat, istihsan, maslahah mursalah dan semua sumber hukum sekunder dan tersier yang diuraikan pada point IX B diatas.

      Tentang Bid’ah 

      Pembahasan tentang bid’ah merupakan masalah yang sangat krusial, karena perbedaan pendapat dan pemahaman tentang masalah bid’ah ini yang sekarang ini menjadi salah satu biang keladi dan pemicu utama terjadinya friksi diantara berbagai kelompok, aliran, mazhab dan harokah Islam. Apalagi sekarang ini ada yang menjadikan katabid’ah sebagai peluru yang sering dimuntahkan dan menjadikan kata mubtadi (pelaku bid’ah) sebagai label yang sering ditempelkan kepada kelompok lain.

      A. Pengertian Bid’ah Secara Bahasa

      Secara bahasa bid’ah itu berasal dari ba-da-’a asy-syai yang artinya adalah mengadakan dan memulai. Kata “bid’ah” maknanya adalah baru atau sesuatu perkara yang baru yang belum pernah ada pada masa Nabi.

      B. Pengertian Bid’ah Secara Istilah.

      Secara istilah, bid’ah itu didefinisikan oleh para ulama dengan sekian banyak versi dan batasan. Hal itu lantaran persepsi mereka atas bid’ah itu memang berbeda-beda. Sebagian mereka ada yang meluaskan pengertiannya hingga mencakup apapun jenis yang baru (diperbaharui), sedangkan yang lainnya menyempitkan batasannya.

      Sultonu Ulama, Imam Izzudin bin Abdus Salam, seorang ulama terbesar dari mazhab Syafi’i (wafat 660 H) dalam kitabnya “Qawa’idul Ahkam” menerangkan bahwa bid’ah adalah suatu perbuatan (baru) yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah SAW.

      Dalam Ensiklopedi Fiqih jilid 8 keluaran Kementrian Wakaf dan Urusan Keislaman Kuwait halaman 21 disebutkan bahwa secara umum ada dua kecenderungan orang dalam mendefinisikan bid’ah. Yaitu kecenderungan menganggap apa yang tidak di masa Rasulullah SAW sebagai bid’ah meski hukumnya tidak selalu sesat atau haram. Dan kedua adalah kecenderungan untuk mengatakan bahwa semua bid’ah adalah sesat.

      Kelompok Pertama 

      Kelompok yang menganggap bahwa perkara baru yang tidak di masa Rasulullah SAW sebagai bid’ah meski hukumnya tidak selalu sesat atau haram, maksudnya ada juga perkara baru yang baik.

      a. Tokoh-tokohnya

      Di antara para ulama yang mewakili kalangan ini antara lain adalah Al-Imam Asy-Syafi’i dan pengikutnya seperti Imam Izzudin bin Abdis Salam, Imam Nawawi, Ibnu Hajar Atsqolani, As-Suyuthi, Abu Syaamah. Sedangkan dari kalangan Al-Malikiyah ada Al-Qarafi dan Az-Zarqani. Dari kalangan Maliki seperti Ibnul Abidin dan dari kalangan Al-Hanbaliah adalah Al-Jauzi serta Ibnu Hazm dari kalangan Dzahiri.

      b. Argumennya

      Shalat Tarawih pada jaman Nabi dan Abu Bakar dilakukan sendiri-sendiri atau berjama’ah berkelompok-kelompok yang terpisah dalam Masjid. Pada Jaman Khalifah Umar bin Al-Khattab beliau membuat “perkara baru” yaitu menghimpun orang-orang untuk shalat tarawih berjamaah dengan satu imam, pada waktu itu ditunjuk Ubay bin Ka’ab sebagai imamnya. Setelah itu Umar berkata : “ini adalah sebaik-baik bid’ah“.

      Perbuatan itu tidak ditentang oleh para sahabat Nabi yang lain dan bahkan sepeninggal Umar masih terus berlangsung sampai masa kita sekarang ini.

      Ibnu Umar juga menyebut shalat dhuha’ berjamaah di masjid sebagai bid’ah yaitu jenis bid’ah hasanah atau bid’ah yang baik.

      Hadits yang mengindikasikan adanya bid’ah yang baik adalah hadits berikut :

      “Siapa yang mensunnahkan sunnah hasanah maka dia mendapat ganjarannya dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat. Siapa yang mensunnahkan sunnah sayyi’ah (kejelekan), maka dia mendapatkan ganjaran dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat”.

      Dalam Kitab Fathul Bari karya Ibnu Hajar Atsqolani, pada juz XVII halaman 10 menyebutkan : 

      1. Ada riwayat dari Abu Nu’im menyebutkan bahwa Imam Syafi’i pernah berkata :

      “Bid’ah itu dua macam, satu bid’ah terpuji dan yang lain bid’ah tercela. Bid’ah terpuji adalah yang sesuai dengan sunnah Nabi dan bid’ah yang tercela adalah yang tidak sesuai atau menentang sunnah Nabi”.

      2. Imam Baihaqi dalam kitabnya “Manaqib Syafi’i” menyebutkan bahwa Imam Syafi’i pernah berkata :

      “Perkara baru (bid’ah) itu ada dua macam : 1. Perbuatan keagamaan yang menentang atau berlainan dengan Qur’an, Sunnah Nabi, atsar dan Ijma’, ini dinamakan “bid’ah dhalalah”. 2. Perbuatan keagamaan yang baik, yang tidak menentang salah satu dari yang tersebut diatas adalah bid’ah juga, tetapi tidak tercela.”

      3. Tentang bid’ah, sebagian ulama membagi kepada hukum yang lima dan memang begitulah. (maksudnya Ibnu Hajar Atsqolany mendukung membagi hukum bid’ah kepada hukum yang lima yaitu : wajib, sunnah, makruh, mubah, haram).

      Bisa kita nukil pendapat Imam Izzudin bin Abdis Salam yang mengatakan bahwa perkara baru yang tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW, terbagi menjadi lima hukum, yaitu : bid’ah wajib, bid’ah haram, bid’ah mandub (sunnah), bid’ah makruh dan bid’ah mubah.

      c. Contoh-contohnya :

      Bid’ah yang wajib :

      - Membukukan mushaf Al-Qur’an.

      - Membukukan hadits Nabi (padahal ada hadits Nabi yang melarang membukukan hadits, karena khawatir tercampur-baur dengan Al-Qur’an).

      - Kodifikasi, perumusan dan penulisan ilmu-ilmu keislaman yang seolah-olah berdiri sendiri seperti : ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu Al-Qur’an, ilmu Fiqih, ilmu kalam (ushuludin), ilmu mantiq (logika), ilmu nahwu-sharaf, ilmu balaghah, ilmu tasawuf.

      - Mempelajari teknologi militer untuk menjaga kekuatan dan pertahanan kaum Muslimin.

      Bid’ah yang haram :

      - Bid’ah dalam masalah akidah berbagai firqoh sempalan, seperti :

      a. Khawarij yang memisahkan diri dan selalu memberontak terhadap Amir Kaum Muslimin yang mereka anggap berbuat zalim, menghalalkan darah orang-orang diluar kelompoknya dan mudah mengkafirkan sesama muslim.

      b. Syiah Ghulat yang mengkultuskan Imam Ali, menuduh Abu Bakar, Umar, Usman menyerobot hak kekhalifahannya. Mencaci maki Aisyah, Talhah, Zubair dan Muawiyah yang pernah berseteru melawan Ali.

      c. Murjiah yang mempunyai keyakinan iman itu cukup dengan hati. Perkataan dan perbuatan tidak termasuk iman.

      d. Qadariyah yang menolak takdir, Jabariyah yang menolak ikhtiar usaha bebas manusia.

      e. Mujasimah dan Musyabbihah yang menyerupakan Allah dengan keadaan manusia.

      f. Mua’tillah yang menolak sifat-sifat Allah.

      g. Mu’tazilah yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk.

      - Bid’ah dalam ibadah, seperti :

      a. Menambah atau mengurangi jumlah rokaat shalat lima waktu.

      b. Shalat dengan tambaan bacaan bahasa Indonesia.

      c. Puasa sehari penuh (tidak berbuka saat maghrib).

      d. Mewajibkan zakat terhadap barang-barang yang tidak wajib dizakati.

      e. Melakukan haji tidak ke Mekkah.

      - Bid’ah yang Sunnah :

      a. Shalat Tarawih berjama’ah.

      b. Adzan pertama pada shalat Jum’at.

      c. Mengadakan pengajian Maulid Nabi.

      d. Mendirikan sekolah/madrasah/majelis ta’lim.

      - Bid’ah yang Makruh :

      a. Menghias masjid.
      b. Menetapkan waktu tertentu untuk ibadah.
      c. Perdebatan yang sengit dalam masalah khilafiah.
      d. Sistem pemerintahan yang monarki.
      e. Melakukan ibadah (shalat/puasa) sunah untuk tujuan duniawi semata-mata.

      - Bid’ah yang Mubah :

      a. Makan menggunakan sendok.
      b. Memakai pakaian yang bagus.
      c. Membuat rumah yang besar.
      d. Menggunakan peralatan modern.
      e. Dzikir berjama’ah.
      f. Bersalam-salaman setelah shalat berjama’ah.

      Kelompok Kedua 
      Kelompok ini menganggap bahwa yang disebut perkara baru (bid’ah) itu semuanya adalah sesat, berdasarkan pemahaman tekstual keumuman lafazh hadits “Semua perkara baru (bid’ah) adalah sesat (dhalalah).”

      Kelompok ini menganggap semua perkara baru dalam masalah syariat adalah bid’ah dhalalah. Sedangkan perkara baru dalam masalah diluar syariat dihukumi sebagai “sarana”. Hukum sarana itu tergantung pada tujuannya. Sarana menuju yang haram adalah haram, sarana menuju yang wajib juga menjadi wajib.
      a. Tokoh

      Di antara mereka yang berpendapat demikian antara lain adalah At-Thurthusy, Asy-Syathibi, Imam Asy-Syumunni dan Al-Aini dari kalangan Al-Hanafiyah. Juga ada Al-Baihaqi serta Ibnu Hajar Al-Haitami dari kalangan Asy-Syafi’iyah. Dan kalangan Al-Hanabilah diwakili oleh Ibnu Rajab dan Ibnu Taimiyah.


      b. Dalil

      Dalil yang mereka gunakan adalah:

      Bahwa Alloh SWT telah menurunkan syariat dengan lengkap diantaranya adalah fiman Alloh SWT : “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS Al-Maidah: 3)
      Hadits Nabi :

      “Bahwa semua perkara baru (bid’ah) itu adalah sesat”.

      “Barang siapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut akan tertolak.” (HR Muslim 1817)

      c. Contoh :

      - Maulud Nabi tidak ada di jaman Nabi, maka itu termasuk bid’ah dhalalah.
      - Dzikir berjama’ah tidak ada dijaman Nabi, maka itu termasuk bid’ah dhalalah.
      - Pemilu tidak ada di jaman Nabi, maka itu termasuk bid’ah dhalalah.
      - Tahlilan tidak ada dijaman Nabi, maka itu termasuk bid’ah dhalalah.

      Tahqiq :

      1. Kedua kelompok sepakat bahwa tidak semua perkara baru adalah bid’ah dhalalah, yaitu sarana yang menuju kebaikan dan urusan duniawi tidak termasuk bid’ah dhalalah.

      2. Perbedaan pendapat terjadi pada : perkara baru tentang ibadah dan adat/tradisi yang mengandung unsur agama, contohnya :

      a. Shalat Jum’ah dengan Kutbah Bahasa Indonesia, itu termasuk bid’ah dhalalah atau tidak.
      b. Shalat Sunah berjama’ah itu bid’ah dhalalah atau tidak.
      c. Dzikir berjama’h itu bid’ah dhalalah atau tidak.
      d. Peringatan maulid Nabi itu bid’ah dhalalah atau tidak.
      e. Tradisi tahlilan pada hari ke-3, 7, 40, 100 hari orang meninggal itu bid’ah atau tidak.

      3. Hadits nabi “Semua perkara baru (bid’ah) adalah sesat (dhalalah).” Secara tekstual memang mengisyaratkan bahwa semua perkara baru itu adalah bid’ah dhalalah.
      Petunjuk lafazh hadits diatas memang bersifat umum (‘am), lafazh ‘am masih memungkinkan menerima takhsis (peng-khususan) dan ternyata memang ada takhsisnya yaitu hadits : “Siapa yang mensunnahkan sunnah hasanah maka dia mendapat ganjarannya dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat.

      Jadi tidak “semua” perkara baru bid’ah dhalalah, masih memungkinkan adanya sunnah hasanah.

      4. Riwayat-atsar yang menunjukkan para sahabat Nabi melakukan perkara baru yang belum dikenal dijaman Nabi :

      a. Khalifah Abu Bakar mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf yang tidak diperintahkan dan tidak ada contohnya dari Nabi.
      b. Khalifah Usman menyatukan Al-Qur’an dalam satu rasm dan menyalinnya menjadi beberapa mushaf.
      c. Khalifah Usman menambahkan adan menjadi dua kali pada Shalat Jum’at, maksudnya adan pertama untuk mengingatkan manusia bahwa waktu shalat Jum’at sudah dekat.
      d. Khalifah Umar bin Khatab melaksanakan shalat Tarawih berjamaa’h dibawah satu imam yang belum pernah dilakukan di jaman Nabi.
      e. Khalifah Umar bin Khatab tidak memberikan zakat kepada muallaf, padahal mereka jelas-jelas termasuk muzakki yang berhak menerima zakat dengan alasan Islam sudah kuat tidak perlu lagi membujuk hati orang-orang yang baru masuk Islam.
      f. Khalifah Umar tidak memotong tangan pencuri ketika masa kelaparan dan paceklik.
      g. Khalifah Umar menetapkan orang yang mentalak tiga sekaligus, jatuh talak tiga karena pada masa itu orang memudahkan urusan talak dan sering terjadi lelaki yang menjatuhkan talak tiga sekaligus. Padahal jaman Nabi dan Khalifah Abu Bakar, talak tiga sekaligus hanya dianggap jatuh talak satu.
      h. Khalifah Umar tidak membagikan tanah taklukan di Iraq kepada para prajurit dengan perimbangan kemaslahatan generasi mendatang, padahal Nabi membagikan tanah taklukan Khaibar kepada para perajurit.
      i. Ibnu Umar menyebut bahwa shalat dhuha’ berjamaah di masjid sebagai bid’ah hasanah atau bid’ah yang baik.
      j. Khalifah Umar bin Abdul Azis membukukan hadits, padahal ada hadits Nabi yang melarang menuliskan hadits (karena khawatir tercampur dengan Al-Qur’an).

      Semua atsar diatas menunjukkan bahwa tidak semua perkara baru adalah bid’ah dhalalah, jadi perlu diselidiki dulu faktor maslahat dan manfaatnya, illat hukumnya, maqashid syariahnya dan sebagainya.

      5. Jadi jangan gampang memvonis bid’ah dhalalah terhadap semua perkara baru, tapi juga jangan terus seenaknya membuat perkara baru yang tanpa ada tujuan dan kemaslahatan yang nyata.

      6. Tentang adat, tradisi atau perkara mubah yang mengandung unsur agama, hendaknya dilihat content (isinya) dan dampaknya, kalau isinya tidak bertentangan dengan jiwa syariat dan dampaknya tidak mendatangkan kemudharatan atau perkara baru itu menjadi sarana yang membawa manfaat-maslahat maka jangan terus mudah divonis sebagai bid’ah dhalalah.

       Ikhtilaf dan Toleransi 

      Dalam masalah ushul, atau masalah furu’ yang dalilnya sudah Qath’i maka tidak boleh ada perbedaan pendapat, tidak boleh ada ijtihad dan tidak boleh ditambah-dikurangi. Maka bila ada pihak-pihak yang berbeda pendapat dalam hal itu maka setiap muslim harus berteriak lantang menentangnya, itulah sebabnya jangan heran kalau para ulama dengan tegas menentang pemikiran kelompok-kelompok sempalan pelaku bid’ah dalam masalah akidah, yaitu kaum Khawarij, Syiah Ghulat, Murjiah, Qadariyah, Jabariyah, Mujasimah, Musyabbihah, Mu’atillah.

      Dalam masalah furu’ yang dzani dan ijtihadi maka boleh ada ijtihad, boleh ada variasi dan perbedaan pendapat. Setiap muslim tidak boleh bersikap keras atau fanatik terhadap pendapat atau mazhabnya. Dalam masalah ini perbedaan pendapat adalah suatu keniscayaan (pasti terjadi) dan harus saling ber toleransi.

      Perbedaan pendapat dalam masalah furu’, fiqih-amaliah yang khilafiah ini sudah terjadi sejak jaman sahabat Nabi dan masa para salafus saleh. Para generasi salaf berbeda pendapat tapi tetap bersatu, tidak terpecah-belah dan saling ber toleransi. Tidak saling mencelah, tidak saling menyalahkan, tidak saling mencaci, tidak saling memvonismubtadi (pelaku bid’ah), tidak saling mengkafirkan dan tidak mudah “menghukumi haram” terhadap suatu masalah yang tidak ada dalil qath’i yang tegas menunjukkan hukum haramnya.

      Berikut ini riwayat-riwayat yang menunjukkan manhaj generasi salaf dalam masalah ikhtilaf :

      Khalifah Harun Al Rasyid pernah berkata : “Aku akan menggiring manusia kepada kitab Al Muwatta’ sebagaimana Usman menggiring pada Mushaf Al-Qur’an”. Keinginan Khalifah tersebut dijawab oleh Imam Malik bahwa hal itu tidak mungkin, karena sejak Masa Khalifah Usman, sahabat Nabi sudah tersebar ke berbagai kota dan masing-masing mengembangkan ijtihad dan berfatwa. Jadi manhaj salafus saleh adalah memaklumi perbedaan pendapat masalah ikhtilaf dan tidak memaksakan pendapatnya.
      Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa keluar darah dari hidung atau karena luka maka membatalkan wudhu. Suatu hari kepada beliau ada yang bertanya : “Apakah engkau mau shalat dibelakang orang yang luka berdarah tetapi tidak berwudhu lagi ? “. Dengan nada meninggi Imam Ahmad bin Hanbal berkata : “Bagaimana saya tidak mau shalat dibelakang Imam Malik bin Anas dan Said Al Musayyab ?”. Kedua imam tersebut berpendapat bahwa keluar darah dari hidung atau karena luka tidak membatalkan wudhu. Jadi manhaj salafus saleh adalah menghormati pendapat orang lain yang berbeda dan tetap menjaga ukuwah.

      Abdurrahman bin Mahdy meriwayatkan : “Kami pernah disamping Imam Malik, ketika itu datang seorang laki-laki kepada beliau lalu berkata : ‘Dari perjalanan yang menghabiskan tempoenam bulan lamanya, para kawanpenduduk dikampung saa membawa suatu masalah kepadaku untuk ditanyakan kepada engkau”. Imam Malik berkata : “Bertanyalah”. Orang tadi lalu menyampaikan pertanyaan kepada beliau dan beliau hanya menjawab : “aku tidak memandangnya baik”. Orang itu terus mendesak karena menginginkan Imam Malik lebih tegas memfatwakan hukumnya, “Bagaimana nanti kalau kau ditanya orang di kampungku yang menyuruh aku datang kemari, bilamana aku telah pulang kepada mereka ?” Imam Malik berkata : “Katakan olehmu bahwa aku Malik bin Anas mengatakan tidak menganggapnya baik”. Artinya beliau sangat hati-hati, tidak gegabah menghukumi haram bila tidak ada dalil nash qath’i yang tegas mengharamkannya. 

      Imam Al Auza’i (mufti dan fuqaha di Damaskus Syria) menceritakan pendapatnya tentang orang yang mencium istrinya : “Kalau orang itu datang padaku bertanya bagaimana hukumnya, maka akan aku katakan bahwa dia harus wudhu lagi, tetapi bila dia tidak mau wudhu lagi, aku tidak akan mencelanya”.

      Imam Ahmad bin Hanbal berkata tentang sholat sunnah setelah ashar : “Kami tidak melakukannya tetapi kami tidak mencela yang melakukannya”.

      Suatu hari, ada perbedaan perdebatan terbuka antara Ali bin Madini dan Yahya bin Mu’in tentang hukumnya menyentuh kemaluan : apakah membatalkan wudhu atau tidak ? Perdebatan ini dihadiri oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Kata Yahya bin Mu’in : “Orang itu harus wudhlu lagi”. Dia menggunakan hadits yang diriwayatkan dari Busrah binti Shafwan sebagai dalil. Sedangkan Ali bin Madini pendapatnya berlawanan menggunakan hadits yang diriwayatkan dari Qais bin Thalaq sebagai dalil. Kemudian Yahya menyampaikan pendapat Ibnu Umar sebagai dalil tambahan, dibalas lagi oleh Ali dengan pendapat Ammar bin Yasir.

      Menanggapi kejadian itu, Imam Ahmad bin Hanbal langsung menengahi, “Sudahlah, derajad Ammar dan Ibnu Umar sama. Siapa suka boleh mengambil pendapat salah satunya.”

      Ibnu Qudamah dalam kitab Al Mugni menceritakan sebuah ketentuan dalam mazhab Imam Ahmad bin Hanbal : “Menurut penegasan Imam Ahmad bin Hanbal, shalat dibelakang orang-orang yang berbeda dengan kita dalam masalah cabang-cabang hukum fiqih, seperti para pengikut mazhab Abu Hanifah, Malik, Syafi’’i hukumnya adalah sah dan sama sekali tidak makruh. Karena para sahabat, para tabi’in dan orang-orang sesudah mereka masih tetap bermakmum kepada yang lain, walaupun berbeda pendapat dalam masalah hukum cabang itu. Dengan demikian, ketentuan ini merupakan salah satu kesepakatan (ijma’). Dan kalau diketahui bahwa imamnya meninggalkan sebuah syarat shalat atau salah satu rukunnya, yang diyakini oleh makmum tetapi tidak diakui oleh imam, maka menurut makna literal dari redaksi pendapat Imam Ahmad : shalat dibelakang imam itu tetap sah.

      Dalam mazhab Imam Abu Hanifah dan para sahabatnya dikatakan bahwa wudhu seseorang bisa batal karena keluar darah. Suatu hari imam Abu Yusuf (pengikut mazhab Abu Hanifah) melihat bahwa Khalifah Harun Al Rasyid berbekam kemudian langsung shalat tanpa wudhu terlebih dahulu, karena mengikuti pendapat Imam Malik yang menyatakan bahwa orang yang berbekam tidak batal wudhunya. Kemudian Imam Abu Yusuf langsung bermakmum dibelakang Khalifah Harun Al Rasyid dan tidak mengulangi shalatnya.

      Imam Syafi’i dalam qaul qadimnya berpendapat bahwa rambut yang sudah dipotong hukumnya najis, suatu hari Imam Syafi’i shalat setelah bercukur rambut, sementara dibajunya masih ada sisa-sisa rambut berceceran. Orang-orang yang melihatnya menanyakan hal tersebut, maka Imam Syafi’I menjawab : “Saat dalam kesulitan, kita mengambil pendapat penduduk Iraq (mazhab Imam Abu Hanifah)”.

      Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatwa menceritakan bahwa Imam Syafi’i yang berpendapat menjaharkan (membaca nyaring) “Bismillahirrahmanirrahim” dalam shalat, tetap bermakmum kepada para ulama Madinah yang tidak pernah menjaharkan “Bismillahirrahmanirrahim”

      Diriwayatkan dari Abu Bakar bin Al Khallal : diceritakan kepada saya oleh Al Hushain bin Basyar Al Makhrumi, bahwa yang bersangkutan telah bertanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal tentang masalah sumpah yang menjurus ke arah perceraian. Imam Ahmad bin Hanbal menjawab tegas, “Kalaui dia melakukanm berarti dia telah melanggar sumpahnya”.

      Lalu Al Hushain meminta jalan keluar, “Bagaimana kalau ada orang lain yang memfatwakan kepada saya, bahwa dia tidak melanggar sumpahnya (tidak jatuh talak perceraian) ?”. Imam Ahmad bin Hanbal menjawab : “Kamu tahu pengajian para ulama Madinah ?” Al Hushain menjawab, “Ya” Saat itu memang ada beberapa ulama Madinah yang membuka pengajian di teras Masjid Agung Baghdad. “Apakah kalau mereka memberikan fatwa (berbeda), istri saya tetap halal ?” maka Imam Ahmad bin Hanbal menjawab : “Ya !”.

      Baihaqi dalam Sunan Al Kubra meriwayatkan dari Abdurrahman bin Yazid : “Dahulu kami bersama Abdullah bin Mas’ud di Mudzalifah. Dan saat mereka memasuki Masjid Mina, beliau bertanya : “Amirul Mukminin (Usman bin Affan) shalat berapa raka’at ?” Mereka menjawab, “Empat raka’at”. Maka Ibnu Mas’ud langsung shalat empat raka’at tanpa membantah.

      Mereka langsung mempertanyakan, “Bukankah anda yang meriwayatkan hadits bahwa Rasulullah dan Abu Bakar melakukan shalat dua raka’at ?”. Ibnu Mas’ud menjawab : “Memang, dan sekarang saya akan meriwayatkannya untuk kalian. Tetapi Usman bin Affan sekarang adalah imam kita dan saya enggan berbeda dengannya, karena perbedaan pendapat (pada saat seperti) ini adalah buruk”.

      Diriwayatkan pula bahwa Imam Syafi’i meninggalkan qunut saat shalat subuh di Masjid Imam Abu Hanifah. Ini bertentangan dengan mazhab beliau sendiri. Banyak yang mempertanyakan hal itu, maka Imam Syafii menjawab : “Aku tidak mencabut pendapatku tentang qunut pada shalat subuh tetapi aku menghormati pendapat Imam Abu Hanifah”.

      Dari Ibnu Abdil Barr berkata dalam At Tahmid : “Penulis pernah mendengar guru besar kami Abu umar Ahmad bin Abdul Malik berkata : “Dahulu Abu Ibrahim bin Ishaq bin Ibrahim, guru besar kami, selalu mengangkat tangannya sebelum dan sesudah bangun dari ruku’, berdasarkan hadits Ibnu Umar yang tercantum dalam Al Muwatta’; sejauh yang penulis temui, beliau adalah terbaik yang paling menguasai fiqih dan paling benar dalam ilmu dan agamanya”.

      Penulis berkata : “Tapi kenapa anda tidak mengangkat tangan anda, agar kami bisa mengikuti anda ?” Beliau menjawab : “Saya tidak akan berbeda dengan bunyi hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Al Qasim, karena orang-orang disekitar kita sekarang ini melakukan ruku’ (tanpa mengangkat tangan) berdasarkan hadits itu. Dan tindakan yang berbeda dengan kebiasaan umum dalam hal-hal yang diperbolehkan bukan termasuk tradisi imam-imam kita”.

      Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatwa nya mengatakan, “Apabila seorang makmum berjama’ah dengan imam yang membaca qunut pada shalat subuh atau shalat witir, selayaknya dia ikut membaca qunut. Tidak perduli apakah imamnya berqunut sebelum ruku’ atau sesudahnya. Sebaliknya, kalau imamnya tidak membaca qunut, makmum juga dianjurkan tidak berqunut. Begitu juga kalau imam memandang bahwa perbuatan itu disunnatkan, berbeda dengan pandangan para makmumnya, maka ; kalau dia meninggalkannya untuk menyatukan pendapat, tentu tindakan ini dianggap lebih baik”.

      Ibnu Taimiyah kemudian mengajukan sabda Nabi kepada Aisyah sebagai dalil : “Hanya karena kaummu baru meninggalkan masa jahiliyah, aku tidak jadi menyuruh orang untuk meratakan bangunan Ka’bah, kemudian aku akan membuat bangunan baru yang mempunyai dua pintu, satu pintu untuk masuk dan pintu yang lain untuk keluar”.

      Terlihat disini, bahwa keinginan yang dianggap Nabi lebih baik ditinggalkan sendiri oleh beliau hanya supaya tidak menimbulkan antipati orang banyak.
      Dibagian lain dalam buku Majmu Fatwanya, Ibnu Taimiyah berkata : “Karena itu, para imam, Ahmad dan lain-lainnya memandang akan lebih baik kalau seorang imam shalat meninggalkan sebuah perbuatan sunnat yang diyakininya, kalau hal itu bisa menarik simpati orang orang yang beriman”.

      Ibnu Muflih dalam kitabnya Al Funun dalam bab Al Adab Ast Syari’ah berkata : “Tidak boleh keluar (menyalahi) dari adat kebiasaan masyarakat kecuali kalau perbuatan itu diharamkan, karena Rasulullah sendiri telah membiarkan bangunan Ka’bah begitu saja, seraya bersabda : “Kalau bukan karena kaummu baru meninggalkan masa jahiliyah…”

      Fiqih Ikhtilaf

      Pokok-pokok pedoman bagi pemahaman fiqih ikhtilaf :

      1. Persatuan adalah wajib.

      “Aku wasiatkan kepada kalian (Agar mengikuti) para sahabatku kemudian generasi berikutnya (tabi’in) kemudian generasi berikutnya (tabi’it tabi’in). Kalian harus tetap dalam jama’ah. Waspadalah terhadap perpecahan, karena sesungguhnya syetan bersama orang yang sendirian dan dia (syetan) akan lebih jauh dari dua orang. Barang siapa menginginkan bau harum surga hendaknya selalu dalam jama’ah.” (HR Turmudzi, Hakim, shahih menurut syarat Bukhary Muslim)
      2. Menjauhi dan menghindari perpecahan.

      “Berpeganglah kamu sekalian pada tali Allah dan jangan berpecah belah”. (QS Ali Imran : 103).

      “…dan janganlah kamu saling berselisih karena nanti kamu jadi lemah dan hilang kekuatan kamu”. (QS Al Anfal : 46).

      3. Perbedaan pendapat dalam masalah furu’ (cabang) adalah suatu kemestian yang pasti terjadi dan merupakan rahmat dan keluasan bagi umat.

      Hadits Nabi : “Perbedaan (pendapat) umatku adalah rahmat”.

      Atsar riwayat Baihaqi, menyebutkan Khalifah Umar bin Abdul Azis berkata :

      “Saya tidak senang bila para sahabat Nabi tidak berselisih pendapat, seandainya mereka tidak berselisih (berbeda) pendapat, niscaya tidak ada ruksyah (keringanan) bagi kita”.

      4. Saling bertoleransi terhadap perbedaan pendapat masalah furu’ yang ijtihadi.

      5. Tidak ada toleransi pada perbedaan pendapat yang nyeleneh pada masalah ushul (akidah) atau terhadap masalah yang dalilnya sudah qath’i (pasti) dan sharih (jelas).

      6. Tidak memaksakan pendapat kepada orang lain.

      7. Tidak memastikan dan tidak menolak mentah-mentah dalam masalah-masalah yang ijtihadi.

      8. Bersikap moderat (pertengahan), tidak ekstrim berlebih-lebihan.

      “Jauhkanlah diri kamu dari berlebih-lebihan dalam agama karena orang-orang sebelum kamu hancur hanya disebabkan karena berlebih-lebihan dalam agama”. (HR Ahmad, Nasa’i, Ibnu Majah, Hakim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu hibban)

      9. Bersikap obyektif dan menelaah perbedaan pendapat diantara para ulama.

      10. Menahan diri dari “menyerang” kelompok yang berbeda pendapat dalam masalah khilafiah dari : memvonis sesat, fasik, zindiq, mubtadi (pelaku bid’ah) atau mengkafirkan.

      11. Lebih memprioritaskan masalah yang lebih utama yang dihadapi umat daripada sekedar berkutat pada masalah ikhtilaf, seperti :

      a. Ketinggalan science dan teknologi umat islam dibanding barat yang non muslim.
      b. Kemiskinan dan kebodohan umat.
      c. Kezaliman dan kesewenang-wenangang politik
      d. Perang pemikiran (ghazwul fikri) yang menarik umat kearah materialistis, sekuleristis, hedonis.
      e. Degradasi moral dan spiritual.
      f. Zionisme dan Kolonialisme negeri negei Islam.


      12. Menjauhi taqlid buta dan fanatisme

      a. Mewajibkan taqlid pada salah satu mazhab atau kelompok tertentu.
      b. Meneriakkan selogan bebas mazhab / tidak ber mazhab (dari empat mazhab yang sudah ada) tapi menjadikan imam yang lain sebagai mazhab ke lima.
      c. Melarang taqlid pada ulama-ulama masa lalu tapi ber taqlid penuh pada ulama masa sekarang.
      d. Merasa kelompoknya paling benar, paling super mendekati makshum yang bebas dari kesalahan.
      e. Berperasangka baik kepada orang lain.
      f. Adanya kemungkinan pluraritas kebenaran.
      13. Tidak menyakiti orang yang berbeda pendapat.

      14. Berdialog dengan cara yang baik dan ilmiah.

      15. Menjauhi perdebatan sengit.


      Fikih Kotemporer 

      DR. Yusuf Qaradhawi, seorang ulama suni kotemporer, hufadz (hafal Al-Qur’an), dikenal moderat, matang dalam fiqih dan berwawasan luas, beliau pernah mendapat gelar “The Man of The Year” dari pemerintah Uni Emirat Arab dalam bukunya “Kebangkitan Gerakan Islam Dari Masa Transisi Menuju Kematangan” menuliskan pemikirannya yang sangat menarik, penting dan perlu diketahui untuk menambah kematangan kita dalam memahami khazanah dan fenomena pemahaman beragama dalam masa kotemporer sekarang ini yaitu point-point menuju kematangan kebangkitan Islam yaitu :

      1. Dari formalitas menuju hakikat. 

      Aspek lahir syariat : shalat, puasa, zakat haji, ‘hafal’ ayat dan teks hadits, hafal teori-teori theologi : sifat 20, asmaul husna, dsb itu semua adalah aspek formal yang penting, tapi jauh lebih penting adalah mengamalkan aspek hakikatnya, yaitu : menghambakan diri kepada Allah, tulus menolong sesama, rendah hati, menjauhi rasa sombong-tinggi hati.

      2. Dari Simbol menuju substansi. 

      Memanjangkan jenggot, memakai baju gamis, memakai jilbab, memakai peci, memendekkan celana diatas mata kaki, membawa kayu siwak, dsb itu semua adalah simbol yang penting, tapi jauh lebih penting adalah memegangi substansinya yaitu : tauhid dalam akidah, ikhlas dalam ibadah, tulus menolong sesama, amanat dalam muamalah, adil dalam memutuskan, kasih sayang dalam pergaulan, berperasaan dalam etika, dsb.

      3. Dari pembicaraan menuju amal 

      Ceramah, wejangan, obrolan itu adalah sebatas pembicaraan maka mengamalkannya itu jauh lebih penting.

      4. Dari polemik-perdebatan menuju berlomba dalam kebaikan. 

      Diskusi, seminar, adu argumentasi, beradu dalil, mengunggulkan pendapat sendiri, melemahkan pendapat orang lain, itu semua termasuk polemik maka berlomba dalam kebaikan amal (fastabiqul khoirot) : mengamalkan ilmu yang sudah diketahui, membangun sarana pendidikan, menyantuni fakir-miskin, ber infaq untuk yayasan yayasan amal, riset penelitian ilmiah, itu semua jauh lebih penting.

      5. Dari sentimentil menuju ilmiah
      Mengedepankan aspek bangsa, ras, suku, golongan, kelompok, mazhab itu adalah aspek sentimen, maka mengutamakan kebenaran, dalil dan argumen itu adalah sikap ilmiah.



      6. Dari emosional menuju rasional

      Memusuhi kelompok yang berbeda, bersikap agresif-ofensif menyerang, itu adalah sikap emosional, maka menerima kebenaran dari kelompok lain dan

      7. Dari ekstrim menuju moderat 

      Ciri sikap ekstrim berlebihan :

      a. Tidak mengakui pendapat lain.
      b. Memaksakan pendapat.
      c. Keras bukan pada tempatnya (pada masalah furu’ yang ijtihadi).
      d. Kasar, menyakiti.
      e. Buruk sangka.
      f. Memvonis orang lain sesat, mubtadi, fasik, kafir.
      g. Liberalis.
      h. Literalis.
      i. Suka men-generalisir, tanpa memilih dan memilah.

      Ciri-ciri sikap moderat adalah pertengahan :

      a. Antara mengikuti mazhab dan non mazhab (memilih pendapat yang terbaik).
      b. Antara pengikut tasawuf dan yang menentang tasawuf.
      c. Antara rasionalis dan literalis.
      d. Antara yang mengabaikan politik dan yang semata mata berkutat dalam politik.
      e. Antara yang terburu-buru memertik buah sebelum matang dan yang terlalu lamban memetik buah hingga dipetik orang lain.
      f. Antara kelompok idealis yang tidak melihat realita dan kelompok realis yang tidak percaya akan ide – ide.

      8. Dari menyulitkan menuju kemudahan. 

      Tidak mau mengambil ruksyah, mudah mengharamkan, memperluas konsep bid’ah dhalalah yaitu berpendapat seolah semua perkara baru yang tidak ada di jaman Nabi adalah bid’ah dhalalah, sehingga seolah-olah hidup sekarang ini adalah penuh dengan sekumpulan larangan, itu semua adalah pandangan yang menyulitkan.

      Padahal Allah berfirman :

      “Dia (Allah) tidak menghendaki adanya kesulitan bagimu”. (QS Al Baqarah : 185).

      “Dia tidak menjadikan kesukaran dalam agama atas diri kalian”. (QS Al Hajj : 78).

      Hadits Nabi :

      “Agama yang disukai Allah adalah agama yang mudah”. (HR Bukhari, Ahmad, Thabrani)

      “Sesungguhnya Allah menyukai kalau ruksyah (keringanan)-Nya diambil, sebagaimana Dia suka dipenuhi azimah (ketentuan hukum asal bila tidak ada uzur) Nya”. (HR Ibnu Hibban, para pentaqiq tidak ada yang mendhaifkannya)

      9. Dari jumud menuju ijtihad. 

      Hanya memegangi makna literal teks dalil yang masih dzanni, tidak mau mempertimbangkan maqashid syari’ah, illat hukum, kondisi sosial dan perkembangan jaman dan sikap taqlid kepada pendapat ulama tertentu menyebabkan sikap jumud (beku), maka diperlukan sarana yang mecairkannya demi kemaslahatan umat yaitu menggalakkan kembali api ijtihad.

      10. Dari taklid menuju ittiba’. 

      Sikap taklid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui argumen-argumennya, sedangkan ittiba’ adalah mengetahui argumen-argumen para imam dan memilih mana yang paling baik.

      11. Dari fanatisme menuju toleransi. 

      Ciri sikap fanatik :

      a. Menganggap dirinya paling benar.
      b. Menganggap semua yang lain pasti salah.
      c. Keras pada masalah furu’ yang ijtihadi
      d. Tidak mau meninggalkan perkara yang sunnah untuk menjaga solidaritas.
      e. Tidak mau menerima pendapat lain yang lebih kuat.

      Ciri sikap toleran :

      a. Tidak merasa yang paling benar.
      b. Mau menerima kemungkinan kebenaran ada pada orang lain.
      c. Tidak bersikap keras pada masalah furu’ yang ijtihadi.
      d. Mau meninggalkan perkara sunnah untuk menjaga solidaritas persamaan.
      e. Mau menerima pendapat orang lain yang ternyata lebih kuat.


      12. Dari eksklusifisme menuju inklusifisme.
      13. Dari keberingasan menuju kasih sayang.
      14. Dari perpecahan menuju persatuan.
      15. Dari perselisihan menuju solidaritas.

      0 komentar:

      Posting Komentar

      Subscribe To RSS

      Sign up to receive latest news